BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Begitu banyak kalimat yang dapat
menggambarkan tentang Indonesia, salah satunya adalah Negeri Kepulauan.
Mengapa? Karena Indonesia kurang lebih memiliki 17.508 pulau yang terbagi atas
5 pulau besar dan ribuan pulau kecil lainnya. Tidak heran jika Indonesia diakui
sebagai negara yang mempunyai beraneka macam kebudayaan, karena Indonesia
dipersatukan oleh 33 provinsi yang tiap provinsinya memiliki ciri khas yang
berbeda-beda. Biarpun saling berbeda, tetapi perbedaan itulah yang justru
melengkapi serta mempersatukan Indonesia seperti semboyannya yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Kebudayaan sangat penting didalam
kehidupan manusia, hal ini didukung oleh pendapat dari Ki Hajar Dewantara bahwa
kebudayaan adalah hasil perjuangan kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan
damai. Papua merupakan salah satu pulau yang masih mempertahankan budayanya,
karena didaerah sekitarnya masih terdapat kebudayaan yang tidak dipengaruhi
oleh budaya asing. Salah satu contohnya adalah kebudayaan memotong jari sebagai
ungkapan kesedihan dan pencegahan terjadinya malapetaka yang tidak dapat kita
temukan di daerah lain.
Selain itu, di pulau Jawa yang menjadi ibu kota negara ini pun banyak kebudayaan yang bisa kita amati, salah satunya Suku Sunda. Selain Gedung Sate yang menjadi ciri khas ibu kota provinsi Jawa Barat ini, ada fakta menarik yang sudah tidak asing lagi bahwa Suku Sunda ‘tidak’ menjadi bagian dari Suku Jawa meskipun pada dasarnya Suku Sunda menempati wilayah Pulau Jawa. Penduduk di provinsi ini lebih dikenal dengan sebutan ‘orang Sunda’ atau ‘Suku Sunda’, sementara daerahnya sering terkenal dengan sebutan ‘Tatar Sunda, Pasundan, atau Bumi Parahyangan’ dengan Bandung sebagai pusatnya. Suku Sunda berada di sebelah barat Pulau Jawa, sedangkan Suku Jawa berada di sebelah tengah dan timur Pulau Jawa.
Selain itu, di pulau Jawa yang menjadi ibu kota negara ini pun banyak kebudayaan yang bisa kita amati, salah satunya Suku Sunda. Selain Gedung Sate yang menjadi ciri khas ibu kota provinsi Jawa Barat ini, ada fakta menarik yang sudah tidak asing lagi bahwa Suku Sunda ‘tidak’ menjadi bagian dari Suku Jawa meskipun pada dasarnya Suku Sunda menempati wilayah Pulau Jawa. Penduduk di provinsi ini lebih dikenal dengan sebutan ‘orang Sunda’ atau ‘Suku Sunda’, sementara daerahnya sering terkenal dengan sebutan ‘Tatar Sunda, Pasundan, atau Bumi Parahyangan’ dengan Bandung sebagai pusatnya. Suku Sunda berada di sebelah barat Pulau Jawa, sedangkan Suku Jawa berada di sebelah tengah dan timur Pulau Jawa.
1.2 RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana kebudayaan potong jari yang dilakukan Suku Dani yang dijadikan sebagai simbol duka cita?
- Bagaimana pandangan dari segi kesehatan terhadap kebudayaan potong jari?
- Apa solusi yang dapat dilakukan masyarakat setempat agar kebudayaan potong jari tidak lagi dilakukan untuk memaknai duka cita?
- Mengapa Suku Sunda tidak menjadi bagian dari Suku Jawa meskipun suku tersebut menempati Pulau Jawa?
- Apa perbedaan yang menjadi ciri khas dari Suku Sunda dan Suku Jawa?
- Mengapa orang Sunda tidak/belum pernah menjadi Presiden RI?
1.3 MANFAAT DAN TUJUAN
Adapun manfaat penulisan makalah ini
agar kita dapat mengetahui salah satu kebudayaan unik yang ada di Indonesia
bagian Timur, dengan tujuan untuk mengamati pandangan dari segi kesehatan
serta solusi lain yang dapat dilakukan untuk memaknai duka cita selain dengan
memotong jari. Selain itu, agar kita lebih mengetahui dan mendalami alasan tentang adanya sentimen antara Suku Sunda dan Suku Jawa yang selama ini telah beredar di masyarakat agar tidak terjadi konflik antar suku.
BAB II
ISI
2.1 Gambaran umum tentang Suku
Dani
Suku Dani adalah sebuah suku yang
mendiami satu wilayah di Lembah Baliem kabupaten Jayawijaya yang dikenal sejak ratusan
tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat/perkakas
yang pada awal mula diketahui telah mengenal teknologi penggunaan
kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang
dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani
masih banyak mengenakan koteka
(penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para wanita
menggunakan pakaian wah yang berasal
dari rumput/serat dan tinggal di honai-honai
(gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan
serta perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20′ sampai
50.20′ Lintang Selatan serta 1370.19′ sampai 141 bujur timur. Batas-batas
Daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut: sebelah utara dengan
Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, barat dengan Kabupaten Paniai,
selatan dengan Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan negara Papua Nugini.
Topografi
Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah
yang luas. Di antara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu
tertutup salju, misalnya Puncak Trikora (4750 m), Puncak Yamin
(4595 m), dan Puncak Mandala (4760 m).
Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat di daerah
pegunungan sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan
lumpur, tanah liat dan lempung.
Mata pencaharian pokok Suku Dani
adalah bercocok tanam. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk
dibudidayakan, artinya mata pencaharian umumnya mereka adalah berkebun. Selain
itu, mata pencaharian Suku Dani adalah beternak babi. Bagi Suku Dani, babi
berguna untuk:
- Lambang status sosial keluarga di Wamen
- Mas kawin
- Dimakan dagingnya
- Darahnya dipakai dalam upacara magis
- Tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan
- Tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi
- Sebagai alat pertukaran/barter
- Pembayar denda
Suku
Dani melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat disekitarnya.
Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak dan hasil
hutan seperti kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.
Dasar religi masyarakat Dani adalah
menghormati roh nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang
dipusatkan pada pesta babi. Konsep kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah
Atou,
yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal
(diturunkan kepada anak laki-laki).
Untuk
menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang
disebut Kaneka. Selain itu, juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk mensejahterahkan
keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.
2.2 Tradisi Potong Jari
Banyak cara menunjukkan kesedihan
dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh
waktu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Namun
berbeda dengan Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan
salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis, tetapi
memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal
dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani “diwajibkan”
memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah simbol dari
sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan
jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terulang kembali
malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.
Mengapa
jari yang dipotong?
Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan, kesatuan
dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga, walaupun dalam penamaan
jari yang ada di tangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga,
yaitu ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk
dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk
meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun
sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan
salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita
bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen
kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Suku Dani |
Tradisi potong jari di Papua sendiri
dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam
seperti pisau, kapak, atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit
ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran
darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan
jari. Sebelum pemotongan jari dilakukan, jari diikat dengan tali selama 30 menit. Setelah diamputasi,
ujung jari boleh di keringkan sebelum di bakar dan abunya di bakar dan di kubur
di area khusus.
Kini budaya potong jari yang menjadi
kebudayaan Suku Dani di Wamena ini sudah ditinggalkan dalam beberapa dekade
belakangan ini, sehingga jarang di temui masyarakat Suku Dani yang masih
melakukan adat istiadat kebudayaan ini. Hal ini disebabkan oleh pengaruh agama
yang telah masuk hingga ke pelosok daerah Papua. Namun, disebagian tempat,
kebudayaan ini masih dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di pedalaman hutan
Papua.
2.2 Pandangan dari segi kesehatan
tentang Tradisi Potong Jari
Jari mudah terluka dan patah, jari
tangan adalah beberapa luka traumatis yang paling umum yang terlihat di ruang
darurat. Mungkin jumlah patah tulang jari hingga 10% dari semua kasus patah
tulang. Karena jari tangan digunakan untuk banyak kegiatan sehari-hari, mereka
berisiko lebih tinggi daripada bagian lain dari tubuh untuk luka trauma, termasuk
cedera olahraga, cedera di tempat kerja, dan kecelakaan lainnya. Sebuah jari
terdiri dari 3 bagian tulang yaitu:
1.
Distal
phalange (ruas
paling atas)
2.
Medial
phalange ( ruas
tengah)
3.
Proximal
phalange (ruas
bawah)
Antara ruas dihubungkan dengan sendi
engsel tulang yaitu Distal interphalangeal (menghubungkan Distal
phalange dengan Medial phalange), Proximal interphalangeal
(menghubungkan Medial phalange dengan Proximal phalange). Suku
Wamena memotong jari tangan di sekitar Medial
phalange, bahkan ada yang memotong tepat pada Proximal interphalangeal. Jari
merupakan organ yang sangat penting dalam aktivitas kehidupan yang memengaruhi
keberhasilan sebuah gerakan.
Apabila
pemotongan dilakukan sendiri tidak tertutup, kemungkinan alat yang digunakan
tidak sterill sehingga dapat menyebabkan penyakit tetanus. Tetanus adalah penyakit akut, bahkan
fatal, yang disebabkan oleh toksin/racun yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium
tetani. Bakteri tetanus banyak
ditemukan di tanah, debu, pupuk, kotoran manusia, kotoran hewan, dan sampah.
Gejala yang timbul pada awalnya adalah sakit kepala, gelisah, nyeri
pada otot rahang yang kemudian diikuti rasa kaku (trismus), demam, otot perut
mengeras, kejang, dan akhirnya pada seluruh tubuh. Gejala ini biasanya mulai terjadi
8 hari setelah tubuh terkena infeksi dan akan menyerang
selama 3 hari sampai 3 minggu. Nyeri pada tulang rahang dan gigi seringkali
membuat pasien sulit untuk membuka mulutnya atau untuk menelan makanan, dan
akhirnya dapat mengakibatkan kematian akibat sesak atau
sukar bernafas. Tetanus sendiri tidak dapat ditularkan antara sesama manusia.
Umumnya penyakit tetanus mudah menyerang pada mereka yang belum pernah menerima vaksinasi tetanus atau pada mereka yang pernah mendapatkan vaksinasi namun lebih dari 10 tahun yang lalu. Kuman dapat masuk melalui luka pada tubuh, misalnya luka tusuk atau luka iris yang dalam dan kotor, luka tusukan akibat duri, paku yang berkarat, atau benda-benda lain yang menyebabkan luka. Serta bisa dikarenakan luka kena peluru, pisau, gigitan hewan, atau tindik yang dibuat dengan jarum yang kotor. Kurangnya akses kesehatan di daerah ini akan mempermudah penyakit ini untuk menyebar dalam tubuh.
Jadi, dari sudut pandang kesehatan tradisi potong jari ini memungkinkan terkenanya penyakit tetanus yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia.
Umumnya penyakit tetanus mudah menyerang pada mereka yang belum pernah menerima vaksinasi tetanus atau pada mereka yang pernah mendapatkan vaksinasi namun lebih dari 10 tahun yang lalu. Kuman dapat masuk melalui luka pada tubuh, misalnya luka tusuk atau luka iris yang dalam dan kotor, luka tusukan akibat duri, paku yang berkarat, atau benda-benda lain yang menyebabkan luka. Serta bisa dikarenakan luka kena peluru, pisau, gigitan hewan, atau tindik yang dibuat dengan jarum yang kotor. Kurangnya akses kesehatan di daerah ini akan mempermudah penyakit ini untuk menyebar dalam tubuh.
Jadi, dari sudut pandang kesehatan tradisi potong jari ini memungkinkan terkenanya penyakit tetanus yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia.
2.3
Alternatif lain untuk memaknai duka cita
Budaya potong jari yang dilakukan Suku Dani untuk memaknai duka cita
dianggap kurang tepat dan tidak lazim. Solusi lain yang dapat dilakukan selain memotong jari adalah dengan
kurban babi ataupun hewan lainnya (yang dianggap sakral). Hal tersebut karena
peran babi sangat penting bagi masyarakat Wamena. Agar lebih efektif, penyuluh
dapat melakukan pendekatan terlebih dahulu dengan kepala suku, karena jika
kepala suku menerima saran ini maka kemungkinan besar akan diterima oleh penduduk
sekitar. Karena kepala suku memiliki kekuasaan dan dipercaya oleh penduduknya.
2.4 Alasan Suku Sunda bukan bagian dari Suku Jawa
2.6 Alasan Suku Sunda tidak/belum pernah menjadi presiden
Perang Bubat adalah perang
yang pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih
Gadjah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat
pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M.
Peristiwa Perang Bubat
diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah
Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap
putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis
secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging
Prabangkara. Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan
didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.
Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat
kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara
pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
Maharaja Linggabuana lalu
berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan
di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri
Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana,
timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada
ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik
tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan
Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut,
Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan
Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada
Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan
sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan
superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan
bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang
diandalkan Majapahit pada saat itu. Pihak Padjajaran tidak terima bila
kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan.
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah
Mada.
Perselisihan ini diakhiri
dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa
kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas
Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam
posisi semula. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah
mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana
untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai
ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
Terjadilah peperangan yang
tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar,
melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah
kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu.
Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat
kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat. Tradisi
menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati
atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata
perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan
oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur.
Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi
kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan,
penganiayaan, atau diperbudak.
Tragedi perang Bubat
merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus
berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak
pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah
Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit
mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi
satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta
menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
Kebijakan Prabu
Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan
Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua
kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda
diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari
luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat
Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit.
Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda
untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan
keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela
pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap
sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki ‘Prabu Wangi’ (bahasa Sunda: raja yang harum namanya)
karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja
Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti
pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut
mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah
sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan
permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa
hingga kini. Antara lain, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat
budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama ‘Gajah
Mada’ atau ‘Majapahit’. Meskipun
Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan
rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak
terpuji dalam tragedi ini.
2.5 Perbedaan Suku Sunda dan Suku Jawa
2.5 Perbedaan Suku Sunda dan Suku Jawa
Suku Sunda atau masyarakat
Sunda merupakan mayoritas penduduk Jawa Barat. Dalam catatan sejarah, pada
tahun 1851 suku Sunda sudah merupakan penduduk terbesar di Jawa Barat yang
berjumlah 786.000 jiwa. Pada tahun 2008, suku Sunda diperkirakan berjumlah lebih
kurang 34 juta jiwa.
Secara fisik sulit dibedakan antara orang Sunda dan orang Jawa yang sama-sama mendiami Pulau Jawa. Perbedaan yang nampak sebagai penduduk Pulau Jawa, akan tampak jelas ditinjau dari segi kebudayaannya, termasuk bahasa, jenis makanan yang disukai, kesenian yang dimiliki, karakter serta sistem politik yang dianut.
Secara fisik sulit dibedakan antara orang Sunda dan orang Jawa yang sama-sama mendiami Pulau Jawa. Perbedaan yang nampak sebagai penduduk Pulau Jawa, akan tampak jelas ditinjau dari segi kebudayaannya, termasuk bahasa, jenis makanan yang disukai, kesenian yang dimiliki, karakter serta sistem politik yang dianut.
1)
Bahasa
Berbeda dengan 'Suku
Jawa' yang mayoritas hidup di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur,
Suku Sunda tidak menggunakan bahasa Jawa tetapi nahasa Sunda. Bahasa Jawa dan
bahasa Sunda jelas memiliki perbedaan yang signifikan. Selain memang mempunyai
perbedaan ejaan, pengucapan dan arti, bahasa Jawa lebih dominan dengan
menggunakan vokal "O" diakhir sebuah kata baik itu dalam pemberian
nama orang atau nama tempat, seperti Soekarno, Soeharto, Yudhoyono, Purwokerto,
Solo dan Ponorogo. Sementara bahasa Sunda lebih dominan berakhiran
"A" seperti Nana Sutisna, Iskandar Dinata, Purwakarta dan
Tasikmalaya.
2)
Makanan
Lalaban dan Gudeg |
Bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya, Suku Sunda dikenal sebagai masyarakat yang senang
memakan sayuran atau daun-daunan sebagai “lalaban” (sayuran yang dimakan mentah-mentah dengan sambal). Bagi orang sunda, dedaunan
dan sambal merupakan salah satu menu utama setiap makan selain tentunya lauk
pauk lain seperti ikan dan daging. Sedangkan bagi masyarakat Jawa, pada
umumnya lebih suka makanan yang manis misalnya gudeg dan rawon.
3)
Seni
Dalam hal seni pun
orang Sunda dan orang Jawa memiliki perbedaan yang khas misalnya dalam seni pertunjukan
dan seni musik. Kalau masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur mengenal
pertunjukkan ‘Wayang Kulit dan Wayang
Orang’, maka dikalangan masyarakat Sunda lebih dikenal dengan pertunjukkan ‘Wayang Golek’. Dari seni wayang ini
lahirlah tokoh yang sangat identik dengan wayang golek Sunda yaitu karakter ‘Si cepot’. Kalau orang Jawa lebih
mengenal ‘Gamelan Jawa’ maka orang
Sunda lebih mengenal ‘Degung Sunda’.
Kalau orang Jawa lebih mengenal ‘Musik
Keroncong’ maka orang Sunda lebih mengenal ‘Kacapi Suling Cianjuran’.
4)
Karakter
Salah satu karakteristik orang Sunda adalah terkenal dengan karakternya yang
lembut, tidak ngotot dan tidak keras. Mereka bersikap baik terhadap kaum
pendatang atau dalam bahasa Sunda "someaah hade ka semah".
Karena karakternya yang lembut, banyak orang berasumsi bahwa orang Sunda harus berjuang dan berambisi dalam menggapai jabatan. Mereka mempunyai sifat "mengalah" daripada harus bersaing dalam memperebutkan suatu jabatan. Tidak heran kalau dalam sejarah Indonesia, kurang sekali tokoh-tokoh Sunda yang menjadi pemimpin di tingkat Nasional di bandingkan dengan orang Jawa.
Karena sifat inilah tak heran jika penetrasi agama Islam ke daerah Sunda ketika pertama kali Islam datang, sangat mudah diterima oleh suku ini. Sebagaimana mayoritas penduduk Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas orang Sunda. Yang membedakannya, kelekatan (attachment) orang Sunda terhadap Islam di pandang lebih kuat di banding dengan orang Jawa pada umumnya. Meskipun tentunya tidak sekuat orang Madura dan Bugis di Makassar.
Karena karakternya yang lembut, banyak orang berasumsi bahwa orang Sunda harus berjuang dan berambisi dalam menggapai jabatan. Mereka mempunyai sifat "mengalah" daripada harus bersaing dalam memperebutkan suatu jabatan. Tidak heran kalau dalam sejarah Indonesia, kurang sekali tokoh-tokoh Sunda yang menjadi pemimpin di tingkat Nasional di bandingkan dengan orang Jawa.
Karena sifat inilah tak heran jika penetrasi agama Islam ke daerah Sunda ketika pertama kali Islam datang, sangat mudah diterima oleh suku ini. Sebagaimana mayoritas penduduk Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas orang Sunda. Yang membedakannya, kelekatan (attachment) orang Sunda terhadap Islam di pandang lebih kuat di banding dengan orang Jawa pada umumnya. Meskipun tentunya tidak sekuat orang Madura dan Bugis di Makassar.
Sedangkan
Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan
perasaan alias tidak suka berbicara kepada inti permasalahan, menjaga etika berbicara
dengan baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak
berbicara. Dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang lebih tua
akan lebih di utamakan, Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata,
memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara.
Suku Jawa umumnya lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati.
Suku Jawa umumnya lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati.
Ciri khas "Narimo ing pandum" adalah
salah satu konsep hidup yang di anut oleh orang Jawa. Pola ini
menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang
ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang meyakini bahwa kehidupan ini
sudah ada yang mengatur dan tidak dapat di tentang begitu saja. setiap
hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak sang
pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu.
Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan nasib kehidupan
adalah rahasia Tuhan, kita sebagai makhluk hidup tidak dapat
mengelaknya. Orang Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka
yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya.
2.6 Alasan Suku Sunda tidak/belum pernah menjadi presiden
Dalam sejarah kepresidenan
RI, sampai dengan yang ketujuh, ternyata tidak ada satupun darah Sunda menyelip
di antaranya. Padahal etnis Sunda merupakan etnis terbesar kedua setelah etnis
Jawa. Menjelang 70 tahun kemerdekaan, ternyata ruang (atau kesempatan) itu
belum pernah (atau sempat) disediakan untuk orang Sunda. Bahkan etnis Bugis
yang jauh lebih sedikit saja pernah menyumbangkan putra terbaiknya menjadi
Presiden RI.
Pertanyaannya, tidak adakah
putra terbaik dari tanah Sunda yang bisa dipandang pantas menjadi Presiden? Bahkan
dari sepuluh orang wakil presiden yang pernah menjabat sejak zaman Presiden
pertama Soekarno sampai sekarang Presiden Joko Widodo, hanya seorang yang
berasal dari suku Sunda yaitu Umar Wirahadikusuma yang pernah menjabat sebagai
wakil presiden di zaman Presiden Soeharto.
Tapi, bagi Suku Sunda
justru tidak perlu berkecil hati. Bagaimanapun kontribusi Suku Sunda bagi
bangsa ini sangatlah besar. Budaya dan adat Sunda yang menerima dan menghargai
orang lain juga turut menjadi pondasi kokoh dalam konteks keharmonisan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk memahami mengapa Suku
Sunda tidak ricuh dan mengusik persoalan ini, kita dapat memahami Suku Sunda
dalam konteks historis, sosiologis dan antropologisnya. Dalam bahasa
sederhananya dapat diuraikan secara singkat seperti berikut:
1. Fakta bahwa Suku Sunda memiliki kesadaran kolektif
untuk menyumbangkan dan merelakan tanah leluhurnya menjadi pusat sosial,
ekonomi dan politik nasional. Inilah sumbangan terbesar Suku Sunda, yang tidak
dilakukan oleh suku lain. Jawa Barat dan Jakarta (Sundakelapa) adalah tanah
Sunda yang sampai saat ini mengelola 80% perekonomian nasional.
2.
Suku Sunda juga sangat identik dengan identitas Islam,
yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Sangat aneh atau jarang mendengar
ada orang Sunda beragama di luar Islam, jika di bandingkan dengan suku Jawa
yang relatif lebih toleran atau permisif dalam beragama di mana banyak
ditemukan keragaman beragama. Maka akan sangat mudah bagi orang Sunda untuk
menerima Presiden dari kelompok manapun, suku apapun, selama agamanya Islam. Pada
akhirnya mereka tidak akan terlalu mempermasalahkan kesukuan.
3.
Suku Sunda tidak mau di anggap atau di panggil Suku Jawa.
4. Merujuk ke ilmu geografi, tanah Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Jawa (termasuk Brunei dan Malaysia bagian timur) itu masuk dalam
gugusan yang disebut Sunda besar, sementara ke sebelah
timur Indonesia dikelompokkan menjadi gugusan Sunda kecil. Penamaan Sunda
ini bukan tanpa alasan, karena berkaitan erat dengan kehadiran Suku Sunda itu
sendiri.
Kebesaran nama Sunda tidak ditentukan oleh ada tidaknya orang Sunda yang jadi Presiden. Sejarah sudah menunjukkan apresiasinya yang tinggi untuk bangsa Indonesia.
Kebesaran nama Sunda tidak ditentukan oleh ada tidaknya orang Sunda yang jadi Presiden. Sejarah sudah menunjukkan apresiasinya yang tinggi untuk bangsa Indonesia.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1
KESIMPULAN
Masyarakat
Suku Dani di Wamena memiliki kebudayaan yang unik yaitu, memotong jari mereka
sebagai simbol duka cita atas kepergian salah satu anggota keluarga. Hal
tersebut diwajibkan karena merupakan simbol dari sakit dan pedihnya seseorang
yang kehilangan anggota keluarganya. Selain itu, diartikan juga sebagai upaya
untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa
seseorang di dalam keluarga yang berduka. Budaya potong jari memiliki beberapa
kerugian, antara lain akan mengganggu aktivitas manusia dikarenakan jari
merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang penting. Selain itu, pemotongan
menggunakan benda dan cara yang kurang tepat akan mengakibatkan infeksi dan
tetanus. Babi memiliki peran yang sangat penting bagi
masyarakat Suku Dani, antara lain sebagai lambang status sosial keluarga di
Wamena, pembayar denda, mas kawin, dimanfaatkan pada berbagai upacara adat, dan
alat tukar.
Fakta
tentang Suku Sunda yang tidak mau di anggap sebagai bagian dari Suku
Jawa ternyata berawal dari zaman kerajaan Majapahit yang kemudian
menimbulkan sentimen terhadap Suku Jawa dan masih tersisa hingga kini. Misalnya Suku Sunda tidak boleh menikah dengan Suku Jawa serta tidak ditemukan jalan bernama ‘Gajah
Mada’ atau ‘Majapahit’.
Meskipun
Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia. Baik Suku
Sunda ataupun Suku Jawa, keduanya mempunyai perbedaan budaya yang khas.
Dari segi seni pertujukan misalnya, Suku Sunda mengenal Wayang Golek dengan tokohnya Si Cepot sedangkan Suku Jawa mengenal Wayang Kulit
walaupun pada dasarnya cara memainkan seni pertujukan tersebut sama.
Alasan Suku Sunda tidak/belum pernah menduduki kursi Presiden salah satunya adalah Suku Sunda memiliki kesadaran kolektif untuk menyumbangkan dan merelakan tanah leluhurnya menjadi pusat sosial, ekonomi dan politik nasional. Inilah sumbangan terbesar Suku Sunda, yang tidak dilakukan oleh suku lain. Karena menurut Suku Sunda, apresiasinya selama ini untuk Indonesia sudah menunjukkan bahwa Bumi Parahyangan memiliki kedudukan yang tidak kalah penting.
Alasan Suku Sunda tidak/belum pernah menduduki kursi Presiden salah satunya adalah Suku Sunda memiliki kesadaran kolektif untuk menyumbangkan dan merelakan tanah leluhurnya menjadi pusat sosial, ekonomi dan politik nasional. Inilah sumbangan terbesar Suku Sunda, yang tidak dilakukan oleh suku lain. Karena menurut Suku Sunda, apresiasinya selama ini untuk Indonesia sudah menunjukkan bahwa Bumi Parahyangan memiliki kedudukan yang tidak kalah penting.
3.2
SARAN
Untuk menghilangkan budaya potong jari yang dianggap kurang tepat dalam
menyikapi duka cita, maka masyarakat dapat mengungkapkan rasa duka citanya
melalui kurban babi ataupun hewan penting (sakral) lainnya. Agar menjadi lebih
efektif dalam penyampaian saran tersebut, maka penyuluh dapat melakukan
pendekatan dengan kepala suku dan menyosialisasikan pada saat perkumpulan adat misalnya acara bakar batu.
Ada baiknya jika
sentimen antara Suku Sunda dan Suku Jawa ini tidak dilanjutkan oleh
para penerus masing-masing suku mengingat kedua suku tersebut adalah
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikhawatirkan sentimen
ini dapat menimbulkan diferensiasi sosial yang mengarah kepada konflik
antar suku. Karena setiap suku di Indonesia pasti sudah memberikan
kontribusinya untuk memajukan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar