Kamis, 15 Oktober 2015

KEBUDAYAAN DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG
            Begitu banyak kalimat yang dapat menggambarkan tentang Indonesia, salah satunya adalah Negeri Kepulauan. Mengapa? Karena Indonesia kurang lebih memiliki 17.508 pulau yang terbagi atas 5 pulau besar dan ribuan pulau kecil lainnya. Tidak heran jika Indonesia diakui sebagai negara yang mempunyai beraneka macam kebudayaan, karena Indonesia dipersatukan oleh 33 provinsi yang tiap provinsinya memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Biarpun saling berbeda, tetapi perbedaan itulah yang justru melengkapi serta mempersatukan Indonesia seperti semboyannya yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
            Kebudayaan sangat penting didalam kehidupan manusia, hal ini didukung oleh pendapat dari Ki Hajar Dewantara bahwa kebudayaan adalah hasil perjuangan kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Papua merupakan salah satu pulau yang masih mempertahankan budayanya, karena didaerah sekitarnya masih terdapat kebudayaan yang tidak dipengaruhi oleh budaya asing. Salah satu contohnya adalah kebudayaan memotong jari sebagai ungkapan kesedihan dan pencegahan terjadinya malapetaka yang tidak dapat kita temukan di daerah lain. 
            Selain itu,  di pulau Jawa yang menjadi ibu kota negara ini pun banyak kebudayaan yang bisa kita amati, salah satunya Suku Sunda. Selain Gedung Sate yang menjadi ciri khas ibu kota provinsi Jawa Barat ini, ada fakta menarik yang sudah tidak asing lagi bahwa Suku Sunda ‘tidak’ menjadi bagian dari Suku Jawa meskipun pada dasarnya Suku Sunda menempati wilayah Pulau Jawa. Penduduk di provinsi ini lebih dikenal dengan sebutan ‘orang Sunda’ atau ‘Suku Sunda’, sementara daerahnya sering terkenal dengan sebutan ‘Tatar Sunda, Pasundan, atau Bumi Parahyangan’ dengan Bandung sebagai pusatnya. Suku Sunda berada di sebelah barat Pulau Jawa, sedangkan Suku Jawa berada di sebelah tengah dan timur Pulau Jawa.


1.2 RUMUSAN MASALAH 
  1. Bagaimana kebudayaan potong jari yang dilakukan Suku Dani yang dijadikan sebagai simbol duka cita? 
  2. Bagaimana pandangan dari segi kesehatan terhadap kebudayaan potong jari? 
  3. Apa solusi yang dapat dilakukan masyarakat setempat agar kebudayaan potong jari tidak lagi dilakukan untuk memaknai duka cita? 
  4. Mengapa Suku Sunda tidak menjadi bagian dari Suku Jawa meskipun suku tersebut menempati Pulau Jawa?  
  5. Apa perbedaan yang menjadi ciri khas dari Suku Sunda dan Suku Jawa?  
  6. Mengapa orang Sunda tidak/belum pernah menjadi Presiden RI?

1.3 MANFAAT DAN TUJUAN
            Adapun manfaat penulisan makalah ini agar kita dapat mengetahui salah satu kebudayaan unik yang ada di Indonesia bagian Timur, dengan tujuan untuk mengamati pandangan dari segi kesehatan serta solusi lain yang dapat dilakukan untuk memaknai duka cita selain dengan memotong jari. Selain itu, agar kita lebih mengetahui dan mendalami alasan tentang adanya sentimen antara Suku Sunda dan Suku Jawa yang selama ini telah beredar di masyarakat agar tidak terjadi konflik antar suku.
 

BAB II
ISI


2.1 Gambaran umum tentang Suku Dani
            Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem kabupaten Jayawijaya yang dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat/perkakas yang pada awal mula diketahui telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak mengenakan koteka (penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah yang berasal dari rumput/serat dan tinggal di honai-honai (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan serta perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
            Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20′ sampai 50.20′ Lintang Selatan serta 1370.19′ sampai 141 bujur timur. Batas-batas Daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut: sebelah utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, barat dengan Kabupaten Paniai, selatan dengan Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan negara Papua Nugini.
            Topografi Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang luas. Di antara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu tertutup salju, misalnya Puncak Trikora (4750 m), Puncak Yamin (4595 m), dan Puncak Mandala (4760 m). Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat di daerah pegunungan sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan lumpur, tanah liat dan lempung.
            Mata pencaharian pokok Suku Dani adalah bercocok tanam. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk dibudidayakan, artinya mata pencaharian umumnya mereka adalah berkebun. Selain itu, mata pencaharian Suku Dani adalah beternak babi. Bagi Suku Dani, babi berguna untuk:
  1. Lambang status sosial keluarga di Wamen
  2.  Mas kawin
  3. Dimakan dagingnya
  4. Darahnya dipakai dalam upacara magis
  5. Tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan 
  6. Tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi
  7. Sebagai alat pertukaran/barter 
  8. Pembayar denda
Suku Dani melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat disekitarnya. Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak dan hasil hutan seperti kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.
            Dasar religi masyarakat Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).   
            Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu, juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk mensejahterahkan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang. 

2.2 Tradisi Potong Jari
            Banyak cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis, tetapi memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani “diwajibkan” memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah simbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terulang kembali malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.

Mengapa jari yang dipotong?
            Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan, kesatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga, walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga, yaitu ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Suku Dani
 Alasan lainnya adalah “Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik” atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.
Tradisi potong jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak, atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan jari. Sebelum pemotongan jari dilakukan, jari diikat dengan tali selama 30 menit. Setelah diamputasi, ujung jari boleh di keringkan sebelum di bakar dan abunya di bakar dan di kubur di area khusus.
            Kini budaya potong jari yang menjadi kebudayaan Suku Dani di Wamena ini sudah ditinggalkan dalam beberapa dekade belakangan ini, sehingga jarang di temui masyarakat Suku Dani yang masih melakukan adat istiadat kebudayaan ini. Hal ini disebabkan oleh pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah Papua. Namun, disebagian tempat, kebudayaan ini masih dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di pedalaman hutan Papua.

2.2 Pandangan dari segi kesehatan tentang Tradisi Potong Jari
            Jari mudah terluka dan patah, jari tangan adalah beberapa luka traumatis yang paling umum yang terlihat di ruang darurat. Mungkin jumlah patah tulang jari hingga 10% dari semua kasus patah tulang. Karena jari tangan digunakan untuk banyak kegiatan sehari-hari, mereka berisiko lebih tinggi daripada bagian lain dari tubuh untuk luka trauma, termasuk cedera olahraga, cedera di tempat kerja, dan kecelakaan lainnya. Sebuah jari terdiri dari 3 bagian tulang yaitu:
1.      Distal phalange (ruas paling atas)
2.      Medial phalange ( ruas tengah)
3.      Proximal phalange (ruas bawah)
           Antara ruas dihubungkan dengan sendi engsel tulang  yaitu Distal interphalangeal (menghubungkan Distal phalange dengan Medial phalange), Proximal interphalangeal (menghubungkan Medial phalange dengan Proximal phalange). Suku Wamena memotong jari tangan di sekitar Medial phalange, bahkan ada yang memotong tepat pada Proximal interphalangeal. Jari merupakan organ yang sangat penting dalam aktivitas kehidupan yang memengaruhi keberhasilan sebuah gerakan.
            Apabila pemotongan dilakukan sendiri tidak tertutup, kemungkinan alat yang digunakan tidak sterill sehingga dapat menyebabkan penyakit tetanus. Tetanus adalah penyakit akut, bahkan fatal, yang disebabkan oleh toksin/racun yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri tetanus banyak ditemukan di tanah, debu, pupuk, kotoran manusia, kotoran hewan, dan sampah. Gejala yang timbul pada awalnya adalah sakit kepala, gelisah, nyeri pada otot rahang yang kemudian diikuti rasa kaku (trismus), demam, otot perut mengeras, kejang, dan akhirnya pada seluruh tubuh. Gejala ini biasanya mulai terjadi 8 hari setelah tubuh terkena infeksi dan akan menyerang selama 3 hari sampai 3 minggu. Nyeri pada tulang rahang dan gigi seringkali membuat pasien sulit untuk membuka mulutnya atau untuk menelan makanan, dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian akibat sesak atau sukar bernafas. Tetanus sendiri tidak dapat ditularkan antara sesama manusia.
            Umumnya penyakit tetanus mudah menyerang pada mereka yang belum pernah menerima vaksinasi tetanus atau pada mereka yang pernah mendapatkan vaksinasi namun lebih dari 10 tahun yang lalu. Kuman dapat masuk melalui luka pada tubuh, misalnya luka tusuk atau luka iris yang dalam dan kotor, luka tusukan akibat duri, paku yang berkarat, atau benda-benda lain yang menyebabkan luka. Serta bisa dikarenakan luka kena peluru, pisau, gigitan hewan, atau tindik yang dibuat dengan jarum yang kotor. Kurangnya akses kesehatan di daerah ini akan mempermudah penyakit ini untuk menyebar dalam tubuh.
            Jadi, dari sudut pandang kesehatan tradisi potong jari ini memungkinkan terkenanya penyakit tetanus yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia.
 
2.3 Alternatif lain untuk memaknai duka cita
            Budaya potong jari yang dilakukan Suku Dani untuk memaknai duka cita dianggap kurang tepat dan tidak lazim. Solusi lain yang dapat dilakukan selain memotong jari adalah dengan kurban babi ataupun hewan lainnya (yang dianggap sakral). Hal tersebut karena peran babi sangat penting bagi masyarakat Wamena. Agar lebih efektif, penyuluh dapat melakukan pendekatan terlebih dahulu dengan kepala suku, karena jika kepala suku menerima saran ini maka kemungkinan besar akan diterima oleh penduduk sekitar. Karena kepala suku memiliki kekuasaan dan dipercaya oleh penduduknya. 

2.4 Alasan Suku Sunda bukan bagian dari Suku Jawa
            Perang Bubat adalah perang yang pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gadjah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M.
            Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara. Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.
            Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
            Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Pihak Padjajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.
            Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.
            Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat. Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
            Tragedi perang Bubat merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.
            Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
            Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki ‘Prabu Wangi’ (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
            Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama ‘Gajah Mada’ atau ‘Majapahit’. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini. 

2.5 Perbedaan Suku Sunda dan Suku Jawa
            Suku Sunda atau masyarakat Sunda merupakan mayoritas penduduk Jawa Barat. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1851 suku Sunda sudah merupakan penduduk terbesar di Jawa Barat yang berjumlah 786.000 jiwa. Pada tahun 2008, suku Sunda diperkirakan berjumlah lebih kurang 34 juta jiwa.
            Secara fisik sulit dibedakan antara orang Sunda dan orang Jawa yang sama-sama mendiami Pulau Jawa. Perbedaan yang nampak sebagai penduduk Pulau Jawa, akan tampak jelas ditinjau dari segi kebudayaannya, termasuk bahasa, jenis makanan yang disukai, kesenian yang dimiliki, karakter serta sistem politik yang dianut.

1)      Bahasa
            Berbeda dengan 'Suku Jawa' yang mayoritas hidup di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, Suku Sunda tidak menggunakan bahasa Jawa tetapi nahasa Sunda. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda jelas memiliki perbedaan yang signifikan. Selain memang mempunyai perbedaan ejaan, pengucapan dan arti, bahasa Jawa lebih dominan dengan menggunakan vokal "O" diakhir sebuah kata baik itu dalam pemberian nama orang atau nama tempat, seperti Soekarno, Soeharto, Yudhoyono, Purwokerto, Solo dan Ponorogo. Sementara bahasa Sunda lebih dominan berakhiran "A" seperti Nana Sutisna, Iskandar Dinata, Purwakarta dan Tasikmalaya.

2)      Makanan
Lalaban dan Gudeg
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, Suku Sunda dikenal sebagai masyarakat yang senang memakan sayuran atau daun-daunan sebagai “lalaban” (sayuran yang dimakan mentah-mentah dengan sambal). Bagi orang sunda, dedaunan dan sambal merupakan salah satu menu utama setiap makan selain tentunya lauk pauk lain seperti ikan dan daging. Sedangkan bagi masyarakat Jawa, pada umumnya lebih suka makanan yang manis misalnya gudeg dan rawon.

3)      Seni
            Dalam hal seni pun orang Sunda dan orang Jawa memiliki perbedaan yang khas misalnya dalam seni pertunjukan dan seni musik. Kalau masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur mengenal pertunjukkan ‘Wayang Kulit dan Wayang Orang’, maka dikalangan masyarakat Sunda lebih dikenal dengan pertunjukkan ‘Wayang Golek’. Dari seni wayang ini lahirlah tokoh yang sangat identik dengan wayang golek Sunda yaitu karakter ‘Si cepot’. Kalau orang Jawa lebih mengenal ‘Gamelan Jawa’ maka orang Sunda lebih mengenal ‘Degung Sunda’. Kalau orang Jawa lebih mengenal ‘Musik Keroncong’ maka orang Sunda lebih mengenal ‘Kacapi Suling Cianjuran’.

4)      Karakter
            Salah satu karakteristik orang Sunda adalah terkenal dengan karakternya yang lembut, tidak ngotot dan tidak keras. Mereka bersikap baik terhadap kaum pendatang atau dalam bahasa Sunda "someaah hade ka semah".
            Karena karakternya yang lembut, banyak orang berasumsi bahwa orang Sunda harus berjuang dan berambisi dalam menggapai jabatan. Mereka mempunyai sifat "mengalah" daripada harus bersaing dalam memperebutkan suatu jabatan. Tidak heran kalau dalam sejarah Indonesia, kurang sekali tokoh-tokoh Sunda yang menjadi pemimpin di tingkat Nasional di bandingkan dengan orang Jawa.
            Karena sifat inilah tak heran jika penetrasi agama Islam ke daerah Sunda ketika pertama kali Islam datang, sangat mudah diterima oleh suku ini. Sebagaimana mayoritas penduduk Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas orang Sunda. Yang membedakannya, kelekatan (attachment) orang Sunda terhadap Islam di pandang lebih kuat di banding dengan orang Jawa pada umumnya. Meskipun tentunya tidak sekuat orang Madura dan Bugis di Makassar.
            Sedangkan Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka berbicara kepada inti permasalahan, menjaga etika berbicara dengan baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang lebih tua akan lebih di utamakan, Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara.
            Suku Jawa umumnya lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati.
            Ciri khas "Narimo ing pandum" adalah salah satu konsep hidup yang di anut oleh orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang meyakini bahwa kehidupan ini sudah ada yang mengatur dan tidak dapat di tentang begitu saja. setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak sang pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan nasib kehidupan adalah rahasia Tuhan, kita sebagai makhluk hidup tidak dapat mengelaknya. Orang Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya.

2.6 Alasan Suku Sunda tidak/belum pernah menjadi presiden
            Dalam sejarah kepresidenan RI, sampai dengan yang ketujuh, ternyata tidak ada satupun darah Sunda menyelip di antaranya. Padahal etnis Sunda merupakan etnis terbesar kedua setelah etnis Jawa. Menjelang 70 tahun kemerdekaan, ternyata ruang (atau kesempatan) itu belum pernah (atau sempat) disediakan untuk orang Sunda. Bahkan etnis Bugis yang jauh lebih sedikit saja pernah menyumbangkan putra terbaiknya menjadi Presiden RI.
            Pertanyaannya, tidak adakah putra terbaik dari tanah Sunda yang bisa dipandang pantas menjadi Presiden? Bahkan dari sepuluh orang wakil presiden yang pernah menjabat sejak zaman Presiden pertama Soekarno sampai sekarang Presiden Joko Widodo, hanya seorang yang berasal dari suku Sunda yaitu Umar Wirahadikusuma yang pernah menjabat sebagai wakil presiden di zaman Presiden Soeharto.
            Tapi, bagi Suku Sunda justru tidak perlu berkecil hati. Bagaimanapun kontribusi Suku Sunda bagi bangsa ini sangatlah besar. Budaya dan adat Sunda yang menerima dan menghargai orang lain juga turut menjadi pondasi kokoh dalam konteks keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Untuk memahami mengapa Suku Sunda tidak ricuh dan mengusik persoalan ini, kita dapat memahami Suku Sunda dalam konteks historis, sosiologis dan antropologisnya. Dalam bahasa sederhananya dapat diuraikan secara singkat seperti berikut:
1.     Fakta bahwa Suku Sunda memiliki kesadaran kolektif untuk menyumbangkan dan merelakan tanah leluhurnya menjadi pusat sosial, ekonomi dan politik nasional. Inilah sumbangan terbesar Suku Sunda, yang tidak dilakukan oleh suku lain. Jawa Barat dan Jakarta (Sundakelapa) adalah tanah Sunda yang sampai saat ini mengelola 80% perekonomian nasional.
2.      Suku Sunda juga sangat identik dengan identitas Islam, yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Sangat aneh atau jarang mendengar ada orang Sunda beragama di luar Islam, jika di bandingkan dengan suku Jawa yang relatif lebih toleran atau permisif dalam beragama di mana banyak ditemukan keragaman beragama. Maka akan sangat mudah bagi orang Sunda untuk menerima Presiden dari kelompok manapun, suku apapun, selama agamanya Islam. Pada akhirnya mereka tidak akan terlalu mempermasalahkan kesukuan.
3.      Suku Sunda tidak mau di anggap atau di panggil Suku Jawa.
4.    Merujuk ke ilmu geografi, tanah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa (termasuk Brunei dan Malaysia bagian timur) itu masuk dalam gugusan yang disebut Sunda besar, sementara ke sebelah timur Indonesia dikelompokkan menjadi gugusan Sunda kecil. Penamaan Sunda ini bukan tanpa alasan, karena berkaitan erat dengan kehadiran Suku Sunda itu sendiri.
Kebesaran nama Sunda tidak ditentukan oleh ada tidaknya orang Sunda yang jadi Presiden. Sejarah sudah menunjukkan apresiasinya yang tinggi untuk bangsa Indonesia.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 KESIMPULAN
            Masyarakat Suku Dani di Wamena memiliki kebudayaan yang unik yaitu, memotong jari mereka sebagai simbol duka cita atas kepergian salah satu anggota keluarga. Hal tersebut diwajibkan karena merupakan simbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Selain itu, diartikan juga sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka. Budaya potong jari memiliki beberapa kerugian, antara lain akan mengganggu aktivitas manusia dikarenakan jari merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang penting. Selain itu, pemotongan menggunakan benda dan cara yang kurang tepat akan mengakibatkan infeksi dan tetanus. Babi memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat Suku Dani, antara lain sebagai lambang status sosial keluarga di Wamena, pembayar denda, mas kawin, dimanfaatkan pada berbagai upacara adat, dan alat tukar.
            Fakta tentang Suku Sunda yang tidak mau di anggap sebagai bagian dari Suku Jawa ternyata berawal dari zaman kerajaan Majapahit yang kemudian menimbulkan sentimen terhadap Suku Jawa dan masih tersisa hingga kini. Misalnya Suku Sunda tidak boleh menikah dengan Suku Jawa serta tidak ditemukan jalan bernama ‘Gajah Mada’ atau ‘Majapahit’. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia. Baik Suku Sunda ataupun Suku Jawa, keduanya mempunyai perbedaan budaya yang khas. Dari segi seni pertujukan misalnya, Suku Sunda mengenal Wayang Golek dengan tokohnya Si Cepot sedangkan Suku Jawa mengenal Wayang Kulit walaupun pada dasarnya cara memainkan seni pertujukan tersebut sama. 
            Alasan Suku Sunda tidak/belum pernah menduduki kursi Presiden salah satunya adalah Suku Sunda memiliki kesadaran kolektif untuk menyumbangkan dan merelakan tanah leluhurnya menjadi pusat sosial, ekonomi dan politik nasional. Inilah sumbangan terbesar Suku Sunda, yang tidak dilakukan oleh suku lain. Karena menurut Suku Sunda, apresiasinya selama ini untuk Indonesia sudah menunjukkan bahwa Bumi Parahyangan memiliki kedudukan yang tidak kalah penting.

3.2 SARAN
            Untuk menghilangkan budaya potong jari yang dianggap kurang tepat dalam menyikapi duka cita, maka masyarakat dapat mengungkapkan rasa duka citanya melalui kurban babi ataupun hewan penting (sakral) lainnya. Agar menjadi lebih efektif dalam penyampaian saran tersebut, maka penyuluh dapat melakukan pendekatan dengan kepala suku dan menyosialisasikan pada saat perkumpulan adat misalnya acara bakar batu.
            Ada baiknya jika sentimen antara Suku Sunda dan Suku Jawa ini tidak dilanjutkan oleh para penerus masing-masing suku mengingat kedua suku tersebut adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikhawatirkan sentimen ini dapat menimbulkan diferensiasi sosial yang mengarah kepada konflik antar suku. Karena setiap suku di Indonesia pasti sudah memberikan kontribusinya untuk memajukan bangsa ini.


DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar