Kamis, 10 Maret 2016

Rasa Yang Tertinggal



Sudah 4 tahun lamanya, dia meninggalkan sebuah rasa yang berhasil menghipnotisku agar tidak berpaling darinya. Rasa yang terus tumbuh tanpa ku beri pupuk ataupun air. Rindu yang tak pernah berubah dan selalu tertuju untuk orang yang sama. Dia yang selalu berhasil membuat lengkungan di bibirku tanpa perintah, menyibukkan mataku agar tetap memandangi tingkah lakunya dan tentunya dia yang sukses mewarnai masa putih abu-abuku. Dia adalah Raditya Arkaan Putra.

Namaku Adiva Afsheen Myesha, umur 22 tahun, dan aku berhasil menggapai cita-citaku semasa SMA untuk menjadi penulis. Walaupun baru mengeluarkan beberapa novel, tetapi novel-novel yang ku tulis mendapat apresiasi besar dari para pembaca, sehingga masuk dalam kategori best seller. Dulu semasa SMA, aku selalu menceritakan cita-citaku ini kepada teman dekatku, Radit. Pada awalnya, aku berkenalan dengannya karena kami satu kelas di kelas 10. Dan seiring berjalannya waktu, kami pun semakin berteman dekat karena mempunyai hobi dan idola yang sama. Saat aku sedih, Radit selalu bersedia menjadi sandaranku lalu membuatku kembali tersenyum sampai tertawa geli melihat tingkah konyolnya, dia selalu ada di saat aku sedih ataupun senang. Aku merasa nyaman bila di dekat Radit. Tanpa di sadari, perasaanku padanya telah bermetamorfosis dari rasa suka sebagai teman dekat menjadi suka antara perempuan dengan laki-laki. Aku mulai menyadarinya saat kami telah lulus SMA. Tetapi setelah aku menyadari semuanya, Radit memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Dan saat itulah aku merasa bertemu dengan orang yang tepat di waktu yang salah.

“Div, gue mau ngelanjutin kuliah  di Australia. Hari ini gue berangkat dan dapet penerbangan pertama.” ucap Radit.

“Lah, kok baru bilang sih, Dit?” jawabku dengan kaget.

“Iya gue minta maaf banget ya. Soalnya gue juga baru tau kalo gue dapet beasiswa di sekolah penerbangan Div, penerbangan. Tentunya lo gak lupa kan kalo gue pengen banget jadi pilot? Makanya gue gak akan nyia-nyiain kesempatan emas ini.” balasnya antusias.

“Oh gitu, iya Dit gue gak akan pernah lupa kok. Yaudah kejar cita-cita lo disana ya, gue pasti dukung kok apapun yang terbaik buat lo. Jangan lupa kirim e-mail terus ke gue dan kalo udah bisa bawa pesawat, ajak gue keliling dunia khususnya sih bawa gue Mekkah ya Dit hehehe.” jawabku dengan nada setengah ikhlas.

“Iya Div pasti, gue akan ajak lo kemana pun yang lo mau. Makasih ya selalu ngedukung gue, oh iya lo juga harus kejar cita-cita lo jadi penulis terkenal ya biar nanti gue bisa numpang eksis hehe. Jaga diri baik-baik di Indonesia selama gak ada gue, tunggu gue pulang bawa Pilot License ya. See you soon, Adiva Afsheen Myesha.” sahut Radit dengan bersemangat.

“Iya Dit, itu sih pasti. Gue akan tunggu lo disini. Take care and see you, Raditya Arkaan Putra.” balasku.

Beberapa bulan setelah Radit pergi, kami selalu memberi kabar dan saling bertukar cerita tentang kesan pertama masuk kuliah sebagai mahasiswa. Tetapi pada bulan berikutnya, Radit sudah jarang membalas e-mailku. Aku tidak tahu apa yang di kerjakan Radit, tetapi aku beranggapan kalau dia memang sedang sibuk dengan sekolah penerbangannya itu. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, sampai akhirnya bulan berganti tahun, Radit tidak juga membalas e-mail- e-mail ku. Aku tidak tahu kabarnya seperti apa sekarang, aku pernah mencoba menghubungi keluarganya tetapi hasilnya nihil. Nomornya sudah tidak aktif lagi, e-mail teman-temannya pun tidak di balas olehnya. Radit menghilang begitu saja, meninggalkan sebuah rasa yang ku pendam sampai saat ini.

Tidak bisa ku pungkiri, rasa sepi dan kehilangan akan sosok Radit cukup mempengaruhi kondisi hati dan pikiranku belakangan ini. Aku rindu saat dia menghiburku di kala aku sedih atau merasa sepi serta mengatakan semua akan baik-baik saja, caranya membuatku tersenyum kembali, membuatku nyaman berada di dekatnya dan aku rindu segala bentuk perhatian Radit padaku. Aku rindu kamu, Radit. Dan di saat seperti ini, aku selalu teringat omongan Icha, sahabatku.

“Jika kamu punya masalah, kembalikan kepada Dia yang dapat menyelesaikan masalah. Percayalah. Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya.”

Beberapa hari yang lalu, novel terbaruku yang bercerita tentang aku dan Radit resmi di terbitkan. Hari ini akan ada konversi pers, setelah itu aku akan pergi ke toko buku di daerah Jakarta Selatan untuk menandatangani langsung novel terbaruku. Di saat sedang sibuk memberi tanda tangan, tiba-tiba salah satu pembaca yang sedang mengantri mengeluarkan suara. Aku kenal dengan suara ini. Suara yang sangat aku rindukan.

“Masih adakah rasa yang tertinggal untuk seseorang yang pernah meninggalkanmu 4 tahun yang lalu?” ucap sang pemilik suara.

Hmm, memangnya kenapa?” balasku ramah sambil fokus menandatangani buku.

“Soalnya aku mau denger langsung dari mulut kamu.” sahutnya.

“Maaf, tapi kamu ini si...Ra..dit? Ini kamu? Kamu udah jadi pilot?” jawabku terkejut.

“Iya ini aku, Radit. Aku ada di sini untuk menjemput rasa yang tertinggal itu, Div.” ujarnya.

“Adiva Afsheen Myesha, aku siap menjadi supirmu untuk mengajakmu mengelilingi dunia khususnya mengunjungi Mekkah bersamaku. Apa janji itu masih berlaku?” tanya Radit dengan penuh keseriusan.

“Masih berlaku dan gak akan pernah kadaluarsa, Dit.” ujarku terharu sambil meneteskan air mata.

“Terima kasih karena telah menungguku dan tetap bertahan dengan rasa yang tertinggal itu. Aku sayang kamu, Div.” ucapnya sambil memelukku.

“Aku juga sayang kamu, Dit.” sahutku sambil membalas pelukannya.

Semua rantai kehidupan akhirnya sampai juga pada satu titik. Tak ada yang bisa melangkahi takdir kita sendiri. Tidak ada kebetulan, tetapi semua sudah di rencanakan. Tuhan selalu punya cara unik untuk mengabulkan do’a para hamba-Nya. Penantianku selama 4 tahun terjawab sudah, Tuhan mempertemukan aku dan Radit kembali. Terimakasih Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar